Latest News
Thursday 21 April 2016

REVITALISASI MAKNA IBU, SPESIAL DI HARI KARTINI




REVITALISASI MAKNA IBU 
Oleh:
Iniartini, S.Pd
(0852.7360.2566)
Kepala SDIT Al-Ihsan Bengkulu Tengah

Unibkita.com || Bunda, sungguh sangat berat bagi saya untuk memulai tulisan ini dari paparan realita yang kebanyakan tidak kita harapkan. Namun, anggap saja ini adalah sebuah spion yang akan melecut semangat kita untuk mulai bergerak mengubah persepsi dan menimba ilmu tentang pentingnya peran sebagai ibu sekaligus orang tua bagi anak-anak kita. Muaranya, kelak profesi ibu tidak lagi dipandang sebelah mata lataran tidak termasuk dalam data aturan sistem penggajian tenaga kerja. Bayangkan jika profesi ini harus digaji? Berapakah? Tetapi sudah ada beberapa Negara yang memberlakukan sistem ini sebagai bentuk kepedulian akan pentingnya peran ibu.

Ibu hebat dan dipandang hebat layaknya profesi yang diidamkan oleh banyak perempuan tentunya perlahan mulai disadari di abad 21 ini, era digital. Berangkat dari kasus-kasus yang mengundang perhatian mendalam terhadap kenyataan yang menimpa anak-anak di Indonesia belakangan ini. Betapa mencengangkan fakta BKKBN tahun 2008 yang menyatakan 63 % remaja Indonesia pernah berhubungan seks. Penelitian Komnas HAM mencatat 62,7% remaja SMP sudah tidak lagi perawan. Belum lagi, kasus-kasus pelecehan seksual, pemerkosaan oleh kalangan muda bahkan berujung pada pembunuhan korban. Kasus perceraian, kekerasan rumah tangga, dan lain-lain. Semuanya membuat kita mengelus dada, mulai bertanya pertanda apakah ini?

Di sisi lain anak-anak dibesarkan oleh orang tua dengan visi masa depan, dijejali harapan-harapan agar mampu membanggakan orang tua. Sehingga, untuk menjawab harapan-harapan tersebut, orang tua bekerja  sekeras-kerasnya, berjibaku agar anak-anak bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah bergengsi. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Hanya saja, apakah orang tua pernah bertanya tentang keinginan anak? Kelelahan anak?  Apakah orang tua menyadari akan hakikat peran kemandirian yang harus disiapkan agar kelak ia mampu menjadi anak yang tahan terhadap tekanan, mampu menyelesaikan masalah, terlebih lagi mampu memberi manfaat bagi banyak orang di sekitarnya, akhirnya mampu menjadi maslahat bagi orang tua saat kelak mereka telah tiada? Sehingga, sebagai Ibu, sebagai ayah kita tidak menjadi bagian yang menyumbangkan generasi rapuh bagi negeri ini.

Saya yakin kita sedang berharap akan solusi untuk melindungi tumbuh kembang anak-anak kita, terlebih lagi anak-anak yang lahir dari rahim ibu-ibu kelahiran 80-90an karena mereka dilahirkan di zaman digital. Fenomena ini, tentu membutuhkan tenaga, strategi, dan pengetahuan yang mumpuni agar ibu mampu menjadi panutan terbaik bagi anak-anak. Lalu, Bagaimana mencapai makna ibu di tengah kenyataan yang mengharuskan ibu untuk bekerja, menyayat perasaan saat meninggalkan anak untuk bekerja, membagi kasih sayang anak dengan pekerjaan? Terkadang ini bukan sesuatu yang diinginkan, tetapi kontrol sosial mengevaluasi ketika seorang berpendidikan hanya mengasuh anak bukan merupakan hal yang wajar, ketika nafkah tidak mencukupi dari jerih payah seorang suami, dan alasan lainnya.

Ibu hebat tidak perlu menunggu solusi masif yang berasal dari kebijakan pemerintah, tentu itu merupakan hal yang sangat baik  ketika kebijakan Negara mampu melindungi martabat seorang ibu dan anak. Namun, usia anak semakin besar, tumbuh kembangnya tidak akan pernah terulang kecuali kita sebagai ibu benar-benar mempersiapkan keilmuan untuk menjadi ibu dambaan. Bagaimanakah? Sementara tidak ada lembaga formal yang merancang sekolah dengan segenap kurikulumnya untuk menjadi seorang ibu. Padahal, mendidik satu ibu sama dengan mendidik satu generasi. Menjadi ibu membutuhkan aspek yang sangat kompleks namun tidak boleh kaku melainkan santai dan optimis karena kita adalah teman bagi anak kita bukan bos yang harus dipenuhi semua keinginannya. Pada dasarnya anak terlahir dengan bekal kemampuan dan potensi yang luar biasa, tinggallah orang tua terlebih lagi ibu yang menentukan muatan apa yang kita inginkan pada diri seorang anak. Kompleksitas peran ibu menuntut ia menyelesaikannya secara sempurna untuk melahirkan makna ibu yang bermartabat. Seorang praktisi pendidikan dan ahli parenting, ibu Septi Peni Wulandani menerangkan bahwa setidaknya ada 4 pilar untuk menjadi ibu teladan, yaitu ; Bunda Sayang, Bunda Cekatan, Bunda Produktif, dan Bunda Shaliha/Bermanfaat.

Pilar pertama, Bunda Sayang, merupakan pilar yang menuntuk seorang ibu agar memahami pola dasar mendidik anak agar anak tumbuh suka belajar tidak hanya sekedar bisa belajar. Sehingga, ibu harus belajar bagaimana mengajarkan, menstimulus, anak tentang membaca, berhitung, motivasi, kreativitas, dan kemandirian. Stimulus ini bukan hanya aspek kognitif namun jauh lebih bermanfaat saat ilmu mampu menyelesaikan masalah kehidupan, memacu kreativitas, dan melatih kemandirian yang menjadi modal dasar anak dalam belajar. Rumah harus didesain supaya memiliki aura positif, saling mendukung, dan saling menyayangi. Selain itu, ibu juga perlu memiliki pola komunikasi yang baik agar tumbuh kebiasaan saling mencurahkan dan bercerita tentang keinginan, keadaan masing-masing anak. Sekalipun anak masih bayi atau balita seni komunikasi harus dibangun agar anak terlatih berkomunikasi jika ada masalah.

Kedua, Pilar Bunda Cekatan, disinilah ibu perlu dididik atau mendidik diri agar mampu meningkatkan kulaitas sebagai ibu dan istri. Ialah manajer di rumahnya. Artinya tugas ibu meliputi manajemen agar tidak terjadi kebocoran-kebocoran serta perselisihan meskipun sepele. Sehingga ibu haruslah mumpuni untuk mengelola waktu, uang, menu, konsep rumah idaman, nyaman, menangangi keadaaan darurat di rumah, manajemen tim keluarga, menata mimpi bersama keluarga, bersolek untuk suami, dan tata krama untuk anak-anak.

Ketiga, Pilar Bunda Produktif, kenapa diletakkan diurutan ketiga? Karena sebelum terjun ke dunia produktif, memberdayakan potensi diri, harus dipastikan seorang ibu sudah menyelesaikan kewajibannya sebagai ibu dan istri bagi suaminya. Bagaimana caranya agar ibu ikut menjemput rizki namun tidak meninggalkan amanah utamanya yaitu anak dan keluarga. Maka, Ibu Septi Peni menyarankan hendaknya menjawab pertanyaan berikut sebelum aktif di dunia produktif , “ Apakah turunnya kita ke dunia produktif akan meningkatkan kemuliaan diri kita, anak-anak, dan keluarga? Kalau “ tidak”, maka solusinya kuatkan terlebih dahulu pilar pertama dan kedua. Semua ibu memimpikan kemandirian finansial, agar tidak seutuhnya bergantung pada suami di tengah banyak sekali kebutuhan dan keinginan yang ingin diwujudkan, tetapi tentu kewajiban harus terlebih dahulu menjadi prioritas di atas keinginan-keinginan.

Pilar terakhir, yaitu Bunda Shaliha. Koleksi ilmu dan pengalaman akan menghasilkan sebuah eksistensi. Menyampaikan ilmu berikut dengan paket pengalaman akan memiliki ruh yang lebih menyentuh ketimbang sekedar menyampaikan hasil ulasan bacaan. Di dalamnya, ada perasaan yang tersentuh, ada masalah yang menemukan solusi, dan kemunduran berjawab semangat. Berhasilnya seorang ibu memerankan ketiga pilar sebelumnya secara professional dan sungguh-sungguh akan melahirkan ibu yang berakhlak mulia, luar biasa dihargai. Pemahaman semua pilar akan melahirkan kebutuhan-kebutuhan yang menginginkan ibu-ibu untuk keratif serta senantiasa mempertahankan jati diri sebagai seorang pembelajar untuk memantaskan diri meskipun sudah menamatkan semua jenjang pendidikan. Inilah yang disebut sebuah martabat sebagai ibu, revitalisasi makna ibu, ibu-ibu teladan, ibu-ibu yang bermanfaat, dan memahami misi-misi penciptaan diri yang telah dilahirkan sebagai seorang perempuan dengan segenap keistimewaannya.

SELAMAT HARI KARTINI

Tentang Penulis :
 Iniartini, S.Pd
(0852.7360.2566)
Kepala SDIT Al-Ihsan Bengkulu Tengah
Alumni Universitas Bengkulu
Mahasiswa Beprestasi Universitas Bengkulu
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments
Item Reviewed: REVITALISASI MAKNA IBU, SPESIAL DI HARI KARTINI Rating: 5 Reviewed By: Unibkita