REVITALISASI MAKNA IBU
Oleh:
Iniartini, S.Pd
Kepala SDIT Al-Ihsan Bengkulu Tengah
Unibkita.com || Bunda,
sungguh sangat berat bagi saya untuk memulai tulisan ini dari paparan realita
yang kebanyakan tidak kita harapkan. Namun, anggap saja ini adalah sebuah spion
yang akan melecut semangat kita untuk mulai bergerak mengubah persepsi dan
menimba ilmu tentang pentingnya peran sebagai ibu sekaligus orang tua bagi
anak-anak kita. Muaranya, kelak profesi ibu tidak lagi dipandang sebelah mata
lataran tidak termasuk dalam data aturan sistem penggajian tenaga kerja.
Bayangkan jika profesi ini harus digaji? Berapakah? Tetapi sudah ada beberapa
Negara yang memberlakukan sistem ini sebagai bentuk kepedulian akan pentingnya
peran ibu.
Ibu
hebat dan dipandang hebat layaknya profesi yang diidamkan oleh banyak perempuan
tentunya perlahan mulai disadari di abad 21 ini, era digital. Berangkat dari
kasus-kasus yang mengundang perhatian mendalam terhadap kenyataan yang menimpa
anak-anak di Indonesia belakangan ini. Betapa mencengangkan fakta BKKBN tahun
2008 yang menyatakan 63 % remaja Indonesia pernah berhubungan seks. Penelitian
Komnas HAM mencatat 62,7% remaja SMP sudah tidak lagi perawan. Belum lagi,
kasus-kasus pelecehan seksual, pemerkosaan oleh kalangan muda bahkan berujung
pada pembunuhan korban. Kasus perceraian, kekerasan rumah tangga, dan
lain-lain. Semuanya membuat kita mengelus dada, mulai bertanya pertanda apakah
ini?
Di
sisi lain anak-anak dibesarkan oleh orang tua dengan visi masa depan, dijejali
harapan-harapan agar mampu membanggakan orang tua. Sehingga, untuk menjawab
harapan-harapan tersebut, orang tua bekerja
sekeras-kerasnya, berjibaku agar anak-anak bisa mengenyam pendidikan di
sekolah-sekolah bergengsi. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Hanya saja,
apakah orang tua pernah bertanya tentang keinginan anak? Kelelahan anak? Apakah orang tua menyadari akan hakikat peran
kemandirian yang harus disiapkan agar kelak ia mampu menjadi anak yang tahan
terhadap tekanan, mampu menyelesaikan masalah, terlebih lagi mampu memberi
manfaat bagi banyak orang di sekitarnya, akhirnya mampu menjadi maslahat bagi
orang tua saat kelak mereka telah tiada? Sehingga, sebagai Ibu, sebagai ayah
kita tidak menjadi bagian yang menyumbangkan generasi rapuh bagi negeri ini.
Saya
yakin kita sedang berharap akan solusi untuk melindungi tumbuh kembang
anak-anak kita, terlebih lagi anak-anak yang lahir dari rahim ibu-ibu kelahiran
80-90an karena mereka dilahirkan di zaman digital. Fenomena ini, tentu
membutuhkan tenaga, strategi, dan pengetahuan yang mumpuni agar ibu mampu
menjadi panutan terbaik bagi anak-anak. Lalu, Bagaimana mencapai makna ibu di
tengah kenyataan yang mengharuskan ibu untuk bekerja, menyayat perasaan saat
meninggalkan anak untuk bekerja, membagi kasih sayang anak dengan pekerjaan?
Terkadang ini bukan sesuatu yang diinginkan, tetapi kontrol sosial mengevaluasi
ketika seorang berpendidikan hanya mengasuh anak bukan merupakan hal yang
wajar, ketika nafkah tidak mencukupi dari jerih payah seorang suami, dan alasan
lainnya.
Ibu
hebat tidak perlu menunggu solusi masif yang berasal dari kebijakan pemerintah,
tentu itu merupakan hal yang sangat baik
ketika kebijakan Negara mampu melindungi martabat seorang ibu dan anak.
Namun, usia anak semakin besar, tumbuh kembangnya tidak akan pernah terulang
kecuali kita sebagai ibu benar-benar mempersiapkan keilmuan untuk menjadi ibu
dambaan. Bagaimanakah? Sementara tidak ada lembaga formal yang merancang
sekolah dengan segenap kurikulumnya untuk menjadi seorang ibu. Padahal,
mendidik satu ibu sama dengan mendidik satu generasi. Menjadi ibu membutuhkan
aspek yang sangat kompleks namun tidak boleh kaku melainkan santai dan optimis
karena kita adalah teman bagi anak kita bukan bos yang harus dipenuhi semua
keinginannya. Pada dasarnya anak terlahir dengan bekal kemampuan dan potensi
yang luar biasa, tinggallah orang tua terlebih lagi ibu yang menentukan muatan
apa yang kita inginkan pada diri seorang anak. Kompleksitas peran ibu menuntut
ia menyelesaikannya secara sempurna untuk melahirkan makna ibu yang
bermartabat. Seorang praktisi pendidikan dan ahli parenting, ibu Septi Peni Wulandani menerangkan bahwa setidaknya
ada 4 pilar untuk menjadi ibu teladan, yaitu ; Bunda Sayang, Bunda Cekatan,
Bunda Produktif, dan Bunda Shaliha/Bermanfaat.
Pilar
pertama, Bunda Sayang, merupakan pilar yang menuntuk seorang ibu agar memahami
pola dasar mendidik anak agar anak tumbuh suka belajar tidak hanya sekedar bisa
belajar. Sehingga, ibu harus belajar bagaimana mengajarkan, menstimulus, anak
tentang membaca, berhitung, motivasi, kreativitas, dan kemandirian. Stimulus
ini bukan hanya aspek kognitif namun jauh lebih bermanfaat saat ilmu mampu
menyelesaikan masalah kehidupan, memacu kreativitas, dan melatih kemandirian
yang menjadi modal dasar anak dalam belajar. Rumah harus didesain supaya
memiliki aura positif, saling mendukung, dan saling menyayangi. Selain itu, ibu
juga perlu memiliki pola komunikasi yang baik agar tumbuh kebiasaan saling
mencurahkan dan bercerita tentang keinginan, keadaan masing-masing anak. Sekalipun
anak masih bayi atau balita seni komunikasi harus dibangun agar anak terlatih
berkomunikasi jika ada masalah.
Kedua,
Pilar Bunda Cekatan, disinilah ibu perlu dididik atau mendidik diri agar mampu
meningkatkan kulaitas sebagai ibu dan istri. Ialah manajer di rumahnya. Artinya
tugas ibu meliputi manajemen agar tidak terjadi kebocoran-kebocoran serta
perselisihan meskipun sepele. Sehingga ibu haruslah mumpuni untuk mengelola
waktu, uang, menu, konsep rumah idaman, nyaman, menangangi keadaaan darurat di
rumah, manajemen tim keluarga, menata mimpi bersama keluarga, bersolek untuk
suami, dan tata krama untuk anak-anak.
Ketiga,
Pilar Bunda Produktif, kenapa diletakkan diurutan ketiga? Karena sebelum terjun
ke dunia produktif, memberdayakan potensi diri, harus dipastikan seorang ibu
sudah menyelesaikan kewajibannya sebagai ibu dan istri bagi suaminya. Bagaimana
caranya agar ibu ikut menjemput rizki namun tidak meninggalkan amanah utamanya
yaitu anak dan keluarga. Maka, Ibu Septi Peni menyarankan hendaknya menjawab
pertanyaan berikut sebelum aktif di dunia produktif , “ Apakah turunnya kita ke
dunia produktif akan meningkatkan kemuliaan diri kita, anak-anak, dan keluarga?
Kalau “ tidak”, maka solusinya kuatkan terlebih dahulu pilar pertama dan kedua.
Semua ibu memimpikan kemandirian finansial, agar tidak seutuhnya bergantung
pada suami di tengah banyak sekali kebutuhan dan keinginan yang ingin
diwujudkan, tetapi tentu kewajiban harus terlebih dahulu menjadi prioritas di
atas keinginan-keinginan.
Pilar
terakhir, yaitu Bunda Shaliha. Koleksi ilmu dan pengalaman akan menghasilkan
sebuah eksistensi. Menyampaikan ilmu berikut dengan paket pengalaman akan
memiliki ruh yang lebih menyentuh ketimbang sekedar menyampaikan hasil ulasan
bacaan. Di dalamnya, ada perasaan yang tersentuh, ada masalah yang menemukan
solusi, dan kemunduran berjawab semangat. Berhasilnya seorang ibu memerankan
ketiga pilar sebelumnya secara professional dan sungguh-sungguh akan melahirkan
ibu yang berakhlak mulia, luar biasa dihargai. Pemahaman semua pilar akan
melahirkan kebutuhan-kebutuhan yang menginginkan ibu-ibu untuk keratif serta
senantiasa mempertahankan jati diri sebagai seorang pembelajar untuk
memantaskan diri meskipun sudah menamatkan semua jenjang pendidikan. Inilah
yang disebut sebuah martabat sebagai ibu, revitalisasi makna ibu, ibu-ibu
teladan, ibu-ibu yang bermanfaat, dan memahami misi-misi penciptaan diri yang
telah dilahirkan sebagai seorang perempuan dengan segenap keistimewaannya.
SELAMAT
HARI KARTINI
Tentang Penulis :
Iniartini, S.Pd
Kepala SDIT Al-Ihsan Bengkulu Tengah
Alumni Universitas Bengkulu
Mahasiswa Beprestasi Universitas Bengkulu
Alumni Universitas Bengkulu
Mahasiswa Beprestasi Universitas Bengkulu