sumber: pinterest.com |
Sebuah
mobil ambulans melaju dengan kencang di tengah keramaian kota. Kendaraan itu
pun tiba di sebuah sekolah berarsitektur bangunan Belanda. Petugas medis
bergegas memasuki bangunan itu. Beberapa saat kemudian, mereka telah keluar
dengan membawa jenazah seorang anak. Petugas medis itu lalu membuka bagian
belakang mobil dan meletakkannya pada pembaringan. Mereka lalu bergegas
meninggalkan sekolah itu.
Di saat yang bersamaan, petir mulai
menyambar. Awan-awan di langit pun tak kuat lagi membendung jutaan butiran air.
Awan pun menitikkan sedikit demi sedikit air. Semakin gelapnya malam hari
semakin deras pula hujan bersamaan dengan petir yang tiada henti terus
menyambar.
***
Aku
melangkah dengan semangat. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah
lamanya liburan sekolah. Aku bergegas mencari kelasku yang baru. Dan aku
menemukannya. Kelas IX B. Sebuah bangunan kelas yang berada di ujung dan
berdekatan dengan WC dan Kantin. Dua kelas lainnya juga berjejer di deretan
kelas IX B.
Aku
memasuki kelas baruku. Kulihat sebagian bangku telah ditempati. Aku
celingak-celinguk mencari bangku yang menurutku strategis. Aku menemukannya.
Sebuah bangku baris ke-3 dan kolom ke-3. Di bangku itu tertulis No.13. Mungkin
penghuni sebelumnya menyukai angka 13. Aku lalu meletakkan tasku dan bersiap
untuk duduk.
“Jangan
duduk di situ!” perintah seseorang. Kuurungkan niatku untuk mendudukinya. Aku
lalu menoleh. Rupanya dia adalah Odelia, temanku.
“Kenapa,
Del? Apa ada yang salah dengan bangku ini?” tanyaku.
“Apa
kamu tidak pernah dengar? Ada rumor yang beredar mengenai bangku itu,” ujar
Odelia.
Aku menggeleng. “Rumor apa?”
Odelia
mendekatiku lalu menarik lenganku. Ia membawaku ke bawah pohon. Ia pun mulai
bercerita.
“Lima
tahun yang lalu, ada seorang siswi keturunan Belanda yang meninggal. Ia
meninggal karena bunuh diri. Dan tragisnya, ia bunuh diri di bangku yang tadi.
Ia menyayat pergelangan tangannya dan meninggalkan sebuah pesan darah yang
berbunyi “Aku akan membunuh siapapun yang menduduki bangku ini”. Dari rumor yang
beredar, katanya siswi itu bunuh diri karena ia dibully.”
Aku
menatap Odelia lalu tertawa. Aku tertawa sampai perutku terasa sakit.
“Hahaha... Kamu lucu banget sih, Del. Ada cerita yang lebih seram lagi gak.
Masa seseorang yang meninggal bisa mengutuk sebuah bangku. Yang benar saja aku
tidak percaya dengan ceritamu itu. Menurutku, siswi yang meninggal itu juga
sangat bodoh. Masa cuma gara-gara dibully langsung bunuh diri. Ada-ada saja.
Itu semua tidak masuk akal. Palingan rumor itu beredar cuma untuk cari sensasi
doang.”
Odelia
menatapku tidak senang. “Terserah padamu. Yang penting aku sudah
mengingatkanmu.”
Bel
tanda masuk kelas pun berbunyi. Aku masuk ke kelas dan tetap menduduki bangku
itu. Aku menelusuri setiap jengkal bangku itu. Tidak ada mantra kutukan di
sana. Aku tersenyum geli. Ada-ada saja,
ucapku dalam hati.
***
Aku
memadamkan lampu kamarku, bersiap untuk tidur. Aku lalu merebahkan diri di atas
ranjang. Tanpa kusadari, aku pun mulai terlelap. Tiba-tiba, terdengar suara
benda yang dilemparkan. Seketika aku langsung terbangun. Aku lalu menyalakan
lampu kamarku.
Gorden
jendelaku berkibar-kibar ditiup oleh angin. Tampak olehku jendela kamarku
terbuka. Aku menggaruk kepalaku. Seingatku aku sudah menutup jendela kamarku.
Lantas kenapa terbuka lagi? Keningku berkerut mempertanyakannya.
Aku
lalu menutup kembali jendelaku. Tetapi kuurungkan niatku ketika kulihat sebuah
gulungan kertas terselip di jendelaku. Kuambil kertas itu lalu menutup jendela
kamarku kembali. Kubuka gulungan kertas itu. Sebuah tulisan bertinta merah
tertulis di sana. Tulisan itu berbunyi “I
Choose You”. Aku membolak-balikkan kertas itu. Aku tak mengerti maksudnya.
Aku lalu membuangnya dan kembali melanjutkan tidurku.
***
Aku
mengerutkan keningku ketika kulihat teman-temanku mengelilingi bangkuku. Aku
bergegas menghampiri mereka. Betapa terkejutnya aku, sebuah tulisan merah
tertera di bangkuku. Tulisan itu ditulis dengan darah dan terdapat sebuah
boneka beruang yang berlumuran darah dengan pergelangan tangan yang tersayat.
Bunyi tulisan itu “I Choose You”.
Deg! Bunyi tulisan itu sama dengan tulisan yang kudapat semalam.
Aku
lalu mengeluarkan tissue-ku. Kemudian
membersihkan tulisan darah itu. Kurasakan mataku mulai panas. Sedikit demi
sedikit air mataku mulai menetes. Aku bertanya-tanya apakah kutukan itu akan
benar-benar terjadi. Di sela-sela tangisku, kulihat sebuah bayangan hitam
tersenyum padaku. Seketika aku pun langsung terjatuh tak sadarkan diri.
***
Aku
merapatkan selimutku. Aku tak tenang karena kejadian kemarin malam dan tadi
pagi. Aku berusaha memejamkan mataku dan berharap akan segera terlelap. Tetapi
aku salah besar. Semakin aku berusaha menutup mataku, aku semakin sulit untuk
tidur.
Biiiip!
Sebuah pesan masuk. Tak ada nama pengirim yang tertera di layar HP-ku. Aku lalu
membuka pesan itu dan membacanya. Deg! Jantungku langsung berdegub kencang. Aku
lalu bergegas beranjak dan memakai jaketku. Aku
harus ke sekolah. Sekarang juga, ucapku dalam hati.
***
Aku
menyusuri lorong-lorong kelas. Gemerisik angin bertiup lembut. Aku menelan
ludah. Bulu kudukku mulai meremang. Tetapi kuberanikan diriku. Tadi aku
mendapat sebuah pesan dari Odelia. Ia bilang ia butuh bantuan di sekolah. Tanpa
pikir panjang, aku langsung bergegas ke sekolah.
Sebuah
bayangan melintas di depanku bersamaan dengan terdengar teriakan Odelia. Aku
pun berlari menuju sumber suara. Tak kuhiraukan kakiku yang mulai bergetar.
Yang lebih penting aku harus cepat.
***
Sebilah
pisau kutodongkan pada Fiona. Ia tak berkutik. Aku lalu menuntunnya ke
bangkunya. Kunyalakan lampu kelas sehingga ia bisa melihat wajahku dengan
jelas. Aku tersenyum sengit sambil memainkan pisau dengan jariku. Raut wajahnya
menandakan ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Rasanya aku ingin
tertawa dan meledakkan tawaku di hadapannya.
“Kenapa
kamu lakukan ini, Odel? Bukankah aku sahabatmu?” tanya Fiona dengan suara yang
gemetar.
Sekarang
aku benar-benar ingin tertawa. Tak tanggung-tanggung aku langsung meledakkan
tawaku padanya. “Sahabatmu? Awalnya aku memang menganggapmu sahabatku. Tetapi
semuanya berubah ketika kamu mentertawakan kakakku.”
“Kakakmu?
Bukankah kamu tidak punya kakak?” tanyanya lagi.
Aku
memandanginya sinis. “Siswi yang meninggal 5 tahun yang lalu adalah kakakku.
Awalnya aku berniat menghindarkanmu dari rencanaku. Tetapi kamu sendiri yang
membuat dirimu terpilih. Tentu saja aku tak akan menyia-nyiakannya.”
“Rencanamu?
Apa maksud semua ini?”
“Aku
yang telah menyebarkan rumor itu. Aku juga yang mengirimimu pesan berdarah itu.
Semua itu kulakukan untuk kakakku. Dan kamu akan menjadi korban kakakku yang
ke-13.”
Aku
mengarahkan pisauku pada Fiona lalu menyayat pergelangan tangannya. Ia meringis
kesakitan. Darah segar menetes. Aku tersenyum bahagia. Aku menghirup aroma
kehidupan dari darahnya.
Sebuah
bayangan hitam menghampiri Fiona. Bayangan itu lalu menggerogoti pergelangan
tangan Fiona dan menghisap darahnya hingga tak tersisa satu tetes pun.
Perlahan
bayangan itu mulai berubah menjadi seorang anak perempuan yang cantik. Aku
tersenyum senang. Ia menjilati sisa darah di mulutnya lalu tersenyum padaku.
“Welcome back, sister,” ujarku.
“Thank you, sister,” ujarnya.
Kami
lalu beranjak meninggalkan ruangan kelas itu. Tawa bahagia kami menggema di
lorong-lorong kelas. Sedangkan Fiona, tubuhnya memutih dan perlahan mulai
berubah menjadi debu hingga tertiup oleh angin dan lenyap. ***