Lengkungan
warna-warni terpampang indah di langit sore Kurau, sebuah desa di Kabupaten
Bangka Tengah. Goresan warna jingga di langit terpaut indah dengan lengkungan
warna-warni. Aku menyusuri jalanan Kurau lalu berhenti di jembatan perbatasan
antara Kurau Barat dan Kurau Timur.
sumber gambar: dormiret.wordpress com |
“Ocha,
sedang apa kamu di sana? Ayo kita pulang. Orang tuamu sudah menunggu,” seru
sahabatku, Intan. Tampak Stevi melambaikan tangan padaku. Seutas lengkungan
manis terukir dibibirku. Sudah lama
sekali ya teman-teman, ucapku dalam hati.
***
Seberkas
sinar matahari masuk melalui celah jendela kamarku. Aku mengerjap-ngerjapkan
mataku. Lalu meregangkan otot-otot tubuhku. Aku melirik jam dinding kamarku.
Pukul 07.00 WIB. Pantas saja sinar matahari masuk ke kamarku.
“Ocha,
bangun nak. Sudah siang,” panggil ibu.
“Iya,
bu,” sahutku.
Aku
mengucir rambutku lalu merapikan bajuku yang berantakan. Aku membuka jendela
kamarku. Angin pagi yang sejuk menerpa wajahku. Kedamaian tersisip dalam
hembusannya. Kulihat anak-anak kecil berlarian di sepanjang jalan sambil
bersenda gurau. Mereka bertelanjang dada. Mereka berhenti tepat di jembatan
Kurau. Lalu terjun ke air sambil tertawa riang. Aku tersenyum penuh arti
melihat mereka.
***
Intan, Stevi, dan Ocha berlarian
kecil sambil bersenda gurau ke jembatan Kurau. Mereka berhenti lalu mengatur
nafas mereka yang tersengal diiringi dengan tawa kecil yang tiada henti. Mereka
lalu terdiam memandangi langit Kurau. Angin laut menerpa wajah mereka. Terlihat
lengkungan manis terukir di bibir mereka.
“Intan, Stevi, kita
terjun yuk. Ocha mau berenang,” ajak Ocha.
“Ayuk, Intan juga mau
berenang,” sahut Intan.
Stevi bergidik ngeri.
“Teman-teman, kalian aja yang berenang. Stevi gak ikut.”
Intan dan Ocha
berpandangan. Lalu mengangguk bersamaan. Intan dan Ocha menghampiri Stevi lalu
menyeringai. Stevi mundur beberapa langkah. Namun terlambat. Byuurr... Stevi
pun jatuh ke dalam air karena didorong oleh Intan dan Ocha.
***
“Ocha,”
panggil Intan dan Stevi bersamaan.
Aku
menoleh ke pintu. Tampak Intan dan Stevi menyeringai lebar. Stevi melambaikan
tangan padaku. Kulihat ia membawa sesuatu dalam kantong hitam. Aku menghampiri
mereka.
“Masuk
aja. Apa yang kamu bawa Stevi?” tanyaku.
Stevi
mengangkat bawaannya lalu memberikan padaku. “Ini kue jongkong dan kue rintak
sagu. Kita makan bareng ya.”
Intan
mengancungkan jempolnya. Aku hanya tersenyum lalu mengangguk.
***
Aku
dan Intan tertawa tak henti-hentinya. Stevi merengut kesal. Ia melipat
tangannya lalu berkata,”Itu semua karena kalian mendorongku. Untung saja aku
masih hidup.”
Intan
mengambil sebuah kue rintak sagu dan menggigitnya lalu berkata, ”Maaf deh.
Waktu itu kan kita masih 5 tahun. Kami kan nggak tahu kalau kamu nggak bisa
berenang.”
Stevi
memukul lengan Intan. Tawa Intan semakin meledak melihat Stevi memonyongkan
bibirnya. Aku tersenyum kecil melihat mereka lalu mengambil sebuah kue rintak
sagu dan kue jongkong dan memperhatikannya. “Kalian tahu nggak kenapa kue rintak
sagu dan kue jongkong ini sangat enak?” tanyaku.
Intan
dan Stevi memandangiku. Mereka mengerutkan kening. Bingung. Aku tersenyum lalu
berkata,”Kue rintak sagu dan kue jongkong enak karena kue ini dibuat dengan
alami dan sederhana, tidak neko-neko dan berlebihan. Bukankah sesuatu yang
tidak berlebihan akan mendatangkan kebaikan? Kue rintak sagu dan kue jongkong ini
seperti negeri kita. Kalian mengerti kan maksudku.”
Intan
dan Stevi manggut-manggut. “Iya ngerti kok.”
Ibuku
lalu menghidangkan lempah darat dan lempah kuning pada kami. Harum masakan
ibuku menggelitik hidungku sehingga membuat perutku meronta-ronta. Aku langsung
menyendokkan nasi.
“Loh,
Stevi. Lempah kuningnya kok nggak dimakan. Ikannya masih segar loh,” ujar
ibuku.
“Stevi
gak suka makan ikan, bu,” jelas Stevi.
“Loh
Stevi kan tinggal di Bangka Belitung. Ini kan makanan khas kita.”
“Stevi
bukan orang Bangka, bu. Dia kan orang China. Hayo Stevi kamu pindah aja ke
China,” ujar Intan sambil tertawa kecil.
Stevi
menoyor bahu Intan. “Enak aja. Aku kan lahir di Bangka juga. Berarti aku orang
Bangka. Aku kan hanya keturunannya saja bukan orang China. Lagian aku cuma nggak
makan ikan kok. Makanan bangka yang lain aku makan.”
“Udah
dong. Udah laper nih,” kataku sekalian menghentikan perdebatan Intan dan Stevi.
Mereka
berdua berhenti lalu sibuk mengambil lauk pauk. Aku menyendokkan sesuap nasi
lalu memakan lempah darat. Rasa asin dari garam dan belacan (terasi) serta rasa pedas dari cabe rawit bersatu padu. Aku
melahap habis makananku tanpa tersisa sedikit pun. Kulihat piring Intan dan
Stevi juga bersih tak tersisa. Entah karena lapar atau masakannya enak.
“Kalian
bertiga tahu nggak makanan yang kalian makan ini punya maknanya loh. Makanan
ini menggambarkan masyarakat Bangka Belitung itu praktis, tidak rumit, sangat
menghargai waktu, hemat, dan ekonomis. Jadi kalian jangan hanya merasakan
kesedapannya saja. Hayati juga maknanya agar kalian nanti jadi orang yang
berguna di masa depan,” nasehat ibuku.
Kami
bertiga manggut-manggut tanda mengerti. “Apakah cuma makanan Bangka yang memiliki
makna, bu?” tanyaku.
“Nggak
sayang. Makanan dari daerah lain juga ada maknanya. Tapi karena kita tinggal di
Bangka. Jadi cuma makanan Bangka yang ibu tahu.”
“Stevi
kamu kenapa? Ih, Stevi nangis. Stevi cengeng deh,” ledek Intan.
“Bukan
tau. Aku nangis karena kepedasan. Lempah daratnya pedas banget,” sanggah Stevi.
Aku
tertawa melihat mereka bertengkar. Mereka memang begitu. Sebentar lagi juga akur
lagi. Aku melihat masakan ibu yang masih tersisa. Satu lagi hal yang tak ingin
kulupakan.
***
Titik-titik
air yang menetes dari langit perlahan mulai berhenti. Aku tersenyum. Aku
menyeret koperku lalu melangkah ke jembatan. Dan benar saja sebuah lengkungan
warna-warni telah bertengger manis di langit Kurau. Negeri sejuta pelangi, ucapku dalam hati. Kutulis sesuatu pada buku-ku.
Kulihat kapal-kapal mulai bepergian untuk mencari ikan. Kulambaikan tangan pada
kapal-kapal itu lalu menyeret koperku untuk kembali.
***
Negeri sejuta pelangi tersayang,
Kalian tahu kenapa
negeri ini disebut negeri sejuta pelangi? Bukan karena ada jutaan pelangi loh.
Itu karena banyak etnis yang mendiami negeri ini dan banyak kebudayaan dari
masing-masing etnis yang mewarnai negeri sejuta pelangi. Seperti pelangi yang
memiliki warna beragam. Semakin beragam warnanya semakin terlihat indah karena
warnanya bersatu padu saling melengkapi.
Itulah yang aku suka
dari negeri ini. Meskipun aku telah mengembara ke negeri lain. Meskipun banyak
keindahan yang mengagumkan di negeri lain. Meskipun banyak pelangi yang
terbentuk di negeri lain. Aku tetap mencintai pelangi yang terbentuk di negeri
ini.
Layaknya hujan yang tak
akan berarti apa-apa tanpa pelangi seperti itulah kecintaanku pada negeriku.
Disini aku berdiri untuk menyaksikan pelangi sebelum aku kembali mengembara
agar aku tak lupa bahwa aku berasal dari negeri sejuta pelangi.***
Lokasi: Desa Kurau, Bangka Tengah,
Bangka Belitung, Indonesia