Latest News
Saturday 18 February 2017

Cerpen Pengemis Pinggir Kota, Karya: Nurhidayah Tanjung





UnibKita.com || Pengemis. Aku melihatnya berjalan di sekitar lampu merah. Dengan muka melasnya meminta sedikit receh pada banyak pengendara. Terkadang melihat hal ini memang sangat memperihatinkan. Tapi benarkah mereka seorang pengemis? Atau justru orang kaya yang berbalut baju kumal?

***

            
Kini aku masih mengenakan baju koko putih. Duduk di kursi plastik tepat di bawah tenda berwarna biru. Dan tidak lupa satu buah nasi kotak juga ada tepat di pangkuanku. Aku yang selalu bermuka lesu. Apalagi di waktu-waktu seperti ini. Dimana aku tidak lebihnya seorang pengemis. Menengadahkan tangan, lalu ‘bomm’ satu buah nasi kotak lengkap dengan kerupuk hadir di atas tangan hitamku. Aku memegangnya erat, tidak bisa langsung memakannya. Karena aku sendiri sedang tidak lapar. Dan satu hal, aku masih menyimpan rasa penasaran terhadap makhluk-makhluk pengisi lampu merah di kota Jakarta itu.

            Kemaren, aku bersama rombongan pergi ke Jakarta. Naik  bus sewaan. Parah. Jalanan Ibukota sangat parah, macet disana-sini. Kami bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di dalam mobil.

            Selama itu aku tidak mengantuk sama sekali. Mataku masih sibuk tengok kanan, tengok kiri. Barangkali ada yang dapat aku kenang dan ceritakan kepada sanak saudara ataupun teman di kampung nanti. Tapi, Ibukota sama saja dengan kampungku. Hanya bedanya saja disini kurang hijau. Gedungnya terlalu tinggi, sampai-sampai matahari lelah bersembunyi dibaliknya. Kotanya sempit, tapi orangnya bahkan berkali-kali lebih banyak dari kota besar

Air mukaku mendadak berubah masam. Bus sewaan ini tiba-tiba dihampiri banyak pengemis dan pengamen. Suasana menjadi heboh seketika. Aku mencoba tidak menghiraukan, memejamkan mata seolah-olah tengah tertidur.

Semilir angin menggelitik telingaku. Sial. Aku bahkan tertidur untuk beberapa jam setelah kejadian heboh di bus tadi. Aku sekarang banyak kehilangan macam-macam penengok’an.

Pada akhirnya aku menemukan satu titik dimana aku merasa seperti bukan manusia. Pengemis, pedagang kaki lima, pengamen di kejar-kejar Satpol PP sampai ke tengah jalan raya yang ramai. Ada yang tempat berjualannya di bongkar hingga rata dengan tanah. Ada pula yang dagangannya disita, dibawa paksa oleh petugas.

Banyak dari mereka yang tertangkap dan terpaksa di bawa ke kantor Satpol PP. Nasib mereka lebih beruntung dibanding diriku. Kami, maksudku: aku dan anak-anak panti asuhan, tidak ber-bapak atau ber-ibu. Hidup tanpa keluarga sedarah walaupun aku masih mempunyai saudara jauh di Kampung.

Lambaian tangan Ibu wati mengisyaratkan kami semua untuk segera menuju mobil mini bus. Tanpa sadar acara doa bersama anak yatim ini telah selesai.

***

            Pagi buta. Aku menyelinap ke dalam mobil pick up pembawa sayuran. Tapi, justru ketahuan. Namun, pada akhirnya aku diperbolehkan juga menumpang mobil pembawa sayuran ini.

            Sampai di pinggir Kota. Aku segera berlari menuju lampu merah. Mencari seseorang disana. Dengan kantong kresek di tangan berisi nasi kotak. Aku menunggu sampai matahari semakin meninggi. Niat ini hanya ingin memberi, tanpa pamrih. Setidaknya aku bukanlah orang yang selalu meminta, namun juga memberi.

             “Lagi apa Dek?” Mataku menatap orang berbaju kumal di depan. “Saya lagi menunggu orang Pak.”

            “Razia!!” bajunya compang-camping, berlari tak perduli apa yang menghalang.

            Sontak saja aku segera berlari kencang, disusul Bapak tadi yang juga ketakutan. Tapi mengapa aku berlari? Aku bukan pengemis dan bukan pula gelandangan ataupun pengamen jalanan. Brrukk.. aku tersungkur jatuh ke tanah, dengan nasi kotak terlepas dari pegangan. Berhamburanlah seluruh isinya. Aku yakin itu tidak dapat dimakan lagi.

                                                                        ***

            Kakiku diolesi obat merah. Lalu diperban seadanya. Malah aku disuguhkan sepiring nasi. Aku masih saja terpaku.

            “Makanlah, nanti perutmu sakit. Oh, ya kamu rumahnya dimana?”

            Rasanya malu sekali. Niatnya ingin berbagi, tapi kenapa aku yang justru diberi bantuan lagi. Bahkan sepiring nasi.

            “Saya pulang saja Pak. Terima kasih.” Aku segera menaruh piring di atas meja kembali, “Dan ini ada sedikit rezeki untuk Bapak.”

            “Hahaha, hari ini aku tidak sedang mengemis. Jadi bawalah kembali, lagipula aku juga sudah mau berhenti mengemis.” Tawanya pecah sekali lagi.

            Aku lagi-lagi terdiam. “Tapi, saya mau berbagi Pak.” Ucapku penuh penegasan.

            “Oh ya? Kalau begitu mari aku tunjukkan tempat yang pas untukmu berbagi.” Bapak itu segera menarik tanganku. Menuju ke suatu tempat.

            Teduh. Aku dan pengemis ini memasuki segera tempat yang dituju. Sebuah Masjid yang tengah sepi. Hingga aku menyadari bahwa tempat yang tepat untuk berbagi adalah Masjid.

            “Berbagilah di kotak amal ini. Selain kamu dapat berbagi kamu juga telah menabung untuk kebaikan nanti. Pahala juga selalu mengalir padamu.”

            Bismillah. Aku mensedekahkan uang yang aku bawa. Dan tanpa sadar telah menangis dalam diam. Seyogyanya berbagi itu mudah dan indah.

            Pengemis pinggir kota ini berjiwa besar. Memberi pelajaran arti dari berbagi itu sendiri, walau ia sendiri dulu lebih sering meminta daripada memberi. Dan ternyata pertanyaanku telah terjawab, sebagian dari mereka bukanlah pengemis, hanya seseorang yang berbalut baju kumal. Mereka pula adalah orang kaya, yaitu: kaya hati dan pembelajaran.

***


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Cerpen Pengemis Pinggir Kota, Karya: Nurhidayah Tanjung Rating: 5 Reviewed By: Nurhidayah Tanjung