UnibKita.com || Pengemis. Aku melihatnya berjalan di
sekitar lampu merah. Dengan muka melasnya meminta sedikit receh pada banyak
pengendara. Terkadang melihat hal ini memang sangat memperihatinkan. Tapi
benarkah mereka seorang pengemis? Atau justru orang kaya yang berbalut baju
kumal?
***
Kini aku masih mengenakan baju koko putih. Duduk di kursi plastik tepat di bawah tenda berwarna biru. Dan tidak lupa satu buah nasi kotak juga ada tepat di pangkuanku. Aku yang selalu bermuka lesu. Apalagi di waktu-waktu seperti ini. Dimana aku tidak lebihnya seorang pengemis. Menengadahkan tangan, lalu ‘bomm’ satu buah nasi kotak lengkap dengan kerupuk hadir di atas tangan hitamku. Aku memegangnya erat, tidak bisa langsung memakannya. Karena aku sendiri sedang tidak lapar. Dan satu hal, aku masih menyimpan rasa penasaran terhadap makhluk-makhluk pengisi lampu merah di kota Jakarta itu.
Kemaren, aku bersama rombongan pergi ke Jakarta.
Naik bus sewaan. Parah. Jalanan Ibukota
sangat parah, macet disana-sini. Kami bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di
dalam mobil.
Selama itu aku tidak mengantuk sama sekali. Mataku masih
sibuk tengok kanan, tengok kiri. Barangkali ada yang dapat aku kenang dan
ceritakan kepada sanak saudara ataupun teman di kampung nanti. Tapi, Ibukota
sama saja dengan kampungku. Hanya bedanya saja disini kurang hijau. Gedungnya
terlalu tinggi, sampai-sampai matahari lelah bersembunyi dibaliknya. Kotanya sempit,
tapi orangnya bahkan berkali-kali lebih banyak dari kota besar
Air
mukaku mendadak berubah masam. Bus sewaan ini tiba-tiba dihampiri banyak
pengemis dan pengamen. Suasana menjadi heboh seketika. Aku mencoba tidak
menghiraukan, memejamkan mata seolah-olah tengah tertidur.
Semilir
angin menggelitik telingaku. Sial. Aku bahkan tertidur untuk beberapa jam
setelah kejadian heboh di bus tadi. Aku sekarang banyak kehilangan macam-macam
penengok’an.
Pada
akhirnya aku menemukan satu titik dimana aku merasa seperti bukan manusia.
Pengemis, pedagang
kaki lima, pengamen di kejar-kejar Satpol PP sampai ke tengah jalan raya yang
ramai. Ada yang tempat berjualannya di bongkar hingga rata dengan tanah. Ada
pula yang dagangannya disita, dibawa paksa oleh petugas.
Banyak
dari mereka yang tertangkap dan terpaksa di bawa ke kantor Satpol PP. Nasib
mereka lebih beruntung dibanding diriku. Kami, maksudku: aku dan anak-anak panti asuhan, tidak
ber-bapak atau ber-ibu. Hidup tanpa keluarga sedarah walaupun aku masih mempunyai saudara jauh
di Kampung.
Lambaian
tangan Ibu wati mengisyaratkan kami semua untuk segera menuju mobil mini bus. Tanpa sadar acara doa bersama anak yatim ini telah
selesai.
***
Pagi buta. Aku menyelinap ke dalam mobil pick up pembawa sayuran. Tapi, justru
ketahuan. Namun, pada
akhirnya aku diperbolehkan juga menumpang mobil pembawa sayuran ini.
Sampai di pinggir Kota.
Aku segera berlari menuju lampu merah. Mencari seseorang disana. Dengan kantong
kresek di tangan berisi nasi kotak. Aku menunggu sampai matahari semakin
meninggi. Niat ini hanya ingin memberi, tanpa pamrih. Setidaknya aku bukanlah orang
yang selalu meminta, namun juga memberi.
“Lagi apa Dek?” Mataku menatap orang berbaju kumal
di depan. “Saya lagi menunggu orang Pak.”
“Razia!!”
bajunya compang-camping, berlari tak perduli apa yang menghalang.
Sontak saja aku segera berlari kencang, disusul Bapak
tadi yang juga ketakutan. Tapi mengapa aku berlari? Aku bukan pengemis dan
bukan pula gelandangan ataupun pengamen jalanan. Brrukk.. aku tersungkur jatuh
ke tanah, dengan nasi kotak terlepas dari pegangan. Berhamburanlah seluruh
isinya. Aku yakin itu tidak dapat dimakan lagi.
***
Kakiku diolesi obat merah. Lalu diperban seadanya. Malah
aku disuguhkan sepiring nasi. Aku masih saja terpaku.
“Makanlah,
nanti perutmu sakit. Oh, ya kamu rumahnya dimana?”
Rasanya malu sekali. Niatnya ingin berbagi, tapi kenapa
aku yang justru diberi bantuan lagi. Bahkan sepiring nasi.
“Saya
pulang saja Pak. Terima kasih.” Aku segera menaruh piring di atas meja kembali,
“Dan ini ada sedikit rezeki untuk Bapak.”
“Hahaha,
hari ini aku tidak sedang mengemis. Jadi bawalah kembali, lagipula aku juga
sudah mau berhenti mengemis.” Tawanya pecah sekali lagi.
Aku lagi-lagi terdiam. “Tapi, saya mau berbagi Pak.”
Ucapku penuh penegasan.
“Oh
ya? Kalau begitu mari aku tunjukkan tempat yang pas untukmu berbagi.” Bapak itu
segera menarik tanganku. Menuju ke suatu tempat.
Teduh. Aku dan pengemis ini memasuki segera tempat yang
dituju. Sebuah Masjid yang tengah sepi. Hingga aku menyadari bahwa tempat yang
tepat untuk
berbagi adalah Masjid.
“Berbagilah
di kotak amal ini. Selain kamu dapat berbagi kamu juga telah menabung untuk
kebaikan nanti. Pahala juga selalu mengalir padamu.”
Bismillah. Aku mensedekahkan uang yang aku bawa. Dan tanpa sadar telah menangis
dalam diam. Seyogyanya berbagi itu mudah dan indah.
Pengemis pinggir kota ini berjiwa besar. Memberi
pelajaran arti dari berbagi itu sendiri, walau ia sendiri dulu lebih sering meminta
daripada memberi. Dan ternyata
pertanyaanku telah terjawab, sebagian dari mereka bukanlah pengemis, hanya
seseorang yang berbalut baju kumal. Mereka pula adalah orang kaya, yaitu: kaya
hati dan pembelajaran.
***