sumber: dailysylvia.com
Setumpuk
kertas tertata rapi di atas meja belajarku. Pandangan mataku tak lepas dari
layar laptop sambil jari-jariku menari indah di atas keyboard. Sesekali aku berhenti untuk menyeruput teh panasku untuk
mengalahkan dinginnya udara yang menembus kulitku.
Kulihat
tugasku masih menumpuk. Namun mataku telah meminta untuk istirahat. Aku lalu
meletakkan kacamataku. Air hujan yang telah tumpah sejak pagi tak kunjung
berhenti. Awan-awan hitam masih menutup matahari dengan rapat.
Mataku
lalu berdalih pada sebuah foto usang. Foto ayah dan ibuku. Jemariku menelusuri
foto itu sambil mengusap wajah ayah dan ibuku. Kupeluk foto itu sambil memandangi
tetes-tetes air hujan di luar jendela. Pikiranku kembali pada bulan Desember
tahun lalu.
***
“Ya
ampun, banyak banget bawaan kamu Ra. Kamu mau pulang kampung apa pindah rumah
sih,” tanyaku begitu tiba di kostan Terra. Aku langsung merebahkan tubuhku di
kasurnya.
“Ihh
Naomi, berisik deh. Namanya juga cewek. Kan bawaannya banyak,” ujar Terra
sewot.
Terra
lalu kembali mengemasi barang-barangnya. Aku memandangi langit-langit kostan
Terra. Sesuatu mengganjal hatiku.
“Ra,
menurut kamu makna pulang itu apa sih?” tanyaku.
Terra
menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia memandangiku lalu menjawab, ”Hmm...
Menurut aku sih pulang itu adalah pergi ke tempat yang menerima kamu apa adanya
dan yang paling penting di sana ada sebuah rumah yang menantimu.”
“Kalau
misalnya tidak ada rumah yang menanti kedatanganmu?” tanyaku lagi.
Terra
mengernyitkan keningnya.”Hah? Emang ada ya. Hmm...menurut aku sih tidak masalah
selama kamu selalu melabuhkan hatimu disana. Toh kamu bisa tinggal dimana saja.
Hahaha...” ujar Terra sambil tertawa.
Aku
manggut-manggut. Dan Terra kembali melanjutkan aktivitasnya.
***
Hujan
telah reda. Menyisakan genangan air di jalanan. Aku duduk termangu di dekat
jendela. Mataku memandang keluar jendela. Melihat daun-daun hijau yang terlihat
gemilang oleh air hujan. Tanganku memegang sebuah foto.
Hmm...menurut aku sih
tidak masalah selama kamu selalu melabuhkan hatimu disana. Toh kamu bisa
tinggal dimana saja. Kata-kata Terra tergiang di benakku. Benarkah itu? Pertanyaan itu terus
kuajukan pada diriku. Hatiku masih meragukannya.
Kulihat
foto ayah dan ibuku. Jemariku mengusap wajah mereka. Lengkungan manis terukir di
bibirku. Aku menepuk lembut pahaku lalu beranjak dari jendela. Hatiku telah
membuat keputusan.
***
“Ayah,
ibu, aku pulang.”
Aku
bersimpuh di hadapan mereka. Air mataku telah menganak sungai. Kucium batu
nisan ayah. Dan kuletakkan bunga mawar kesayangan ibu di atas kuburannya.
Kemudian mencium batu nisannya.
“Maaf
aku baru bisa pulang sekarang.”
Aku
lalu beranjak meninggalkan peristirahatan ayah dan ibu. Angin semilir
menerbangkan daun yang berguguran. Dan menjatuhkannya di pusara ayah. Senja menyemburatkan
warnanya di langit penghujung bulan Desember. ***