Unibkita.com|| Kala mentari sudah
diatas kepala dan suasana Gedung Kuliah
Bersama II Universitas Bengkulu yang ramai oleh rutinitas belajar mahasiswa,
Dantari (10) sudah nampak lelah membawa plastik putih berisikan koran dagangannya.
Tangga demi tangga ia berjalan, berharap
koran yang dijualnya dibeli oleh mahasiswa. "koran… mbak.. koran
bang…," teriak Dantari beberapa hari lalu yang berharap disapa oleh mahasiswa.
Hampir tiap hari Dantari berjualan
keliling di Universitas Bengkulu, tempat yang sering ia jadikan untuk berjualan
adalah gedung PKM dan gedung perpustakaan terkadang ia pun berjualan di Pasar
Minggu. Dantari pun tak sendirian berjualan, ada juga anak-anak lain seusianya ikut
berjualan koran. Langkahnya kelihatan tertatih, akibat berjualan koran
diusianya yang masih kecil. Bagaimana tidak, tubuhnya yang masih mungil, harus berjualan
koran mengelilingi kampus biru kita ini, tak jarang juga ia menerima usiran
dari orang lain. Sehari-hari, bocah laki-laki ini membawa 12 koran. Tak
ada transportasi yang ia gunakan saat menjajakan korannya. Ia hanya bertumpu
pada kedua kakinya yang mungil untuk mengelilingi kampus. Barangkali sudah
puluhan atau mungkin ratusan kilometer langkahnya untuk berkeliling.
Saat ditanya mengapa dirinya
berjualan koran, bibir kecilnya menyahut jika hal ini untuk membantu keuangan
orangtuanya. "Saya jualan untuk bantu-bantu bapak sama mamak cari
uang, bapak saya seorang pengampas bawang mbak," tutur Dantari. Saya pun
penasaran untuk apa uang hasil jual koran, “Untuk apa dik uangnya nanti?”
tanyaku singkat, “Uangnya ditabung mbak untuk beli sepatu sama tas sekolah” jawab
Dantari sembari memandangi koran yang ada ditangannya. Momok yang menakutkan adalah ketika korannya
tak ludes terjual, Hal ini tentu memaksanya harus teriak sebanyak mungkin.
Jualan Koran sudah dilakukan selama
2 tahun terakhir ini, dari setiap koran yang laku terjual Dantari mendapat
uapah Rp 500,- jika laku terjual semua
korannya Dantari menghasilkan Rp 6000, - per hari, ia menyebut hasil
penjualannya sedikit membantu biaya hidup keluarganya yang turut dihuni kakaknya
yang duduk di bangku SMP dan adiknya yang masih SD.
Anak sekecil itu sudah bermain
dengan waktu. Biasanya, ia berjualan mulai pukul 13.30 WIB hingga pukul 15.30 WIB.
Jadwal kerjanya yang padat, tak membuat Dantari putus sekolah. Ia mengaku
beruntung dengan jam sekolahnya yang harus masuk Pagi. Sebab hal itu mendukung
dirinya untuk bisa kerja sambilan dengan berjualan di siang hari.
"Sekolahku masuk pukul 08.00 pagi mbak, jadi siang hari saya bisa
berjualan koran," kata Dantari dengan sorot mata nanar.
Meski harus berbeda dengan anak
seusianya, Dantari tak pernah merasa risih dengan profesinya berjualan koran.
Sebab, apa yang ia lakukan menurutnya bukanlah hal yang salah. Anak yang masih
duduk di kelas V SD ini hanya risau dengan pendidikannya di sekolah. Saat
ditanya soal prestasinya, ia menyebut hasilnya tak begitu baik. "Saya
nggak dapat peringkat mbak, hasilnya biasa-biasa saja," imbuh Dantari sembari
tersenyum. Walapun seperti itu, Dantari memiliki cita-cita, Ia ingin menjadi
seorang Polisi besarnya nanti.
Harapannnya, semoga tiap hari korannya
laris terjual dibeli mahasiswa agar keluarganya bisa bertahan hidup di tengah
kondisi yang semakin pelik. Dantari merupakan satu diantara juataan anak
yang terpaksa membanting tulang bekerja. Menurut data BPS, sekira 4,05 juta
dari jumlah keseluruhan anak berusia 5-17 di tahun 2009, termasuk dalam
kategori anak yang bekerja. Anak yang bekerja umumnya masih bersekolah,
bekerja tanpa dibayar sebagai anggota keluarga, serta terlibat dalam bidang
pekerjaan pertanian, jasa dan manufaktur.